Download novel perahu kertas pdf






















Sampai-sampai Kugy hafal juri-juri mana yang biasa dipakai dan bagaimana selera- nya. Tidak semua orang menganggap menjadi penulis dongeng layak disebut sebagai cita-cita. Kugy juga tahu itu. Semakin ia beranjak besar, Kugy sadar bahwa sebuah cita-cita yang dianggap layak sama dengan profesi yang pasti menghasilkan uang. Penulis dongeng bukan salah satunya.

Untuk itu, se- panjang hidupnya Kugy berupaya membuktikan bahwa ia bisa mandiri dari buku dan menulis. Suatu hari ia bukan hanya seorang kolektor buku do- ngeng.

Ia akan menulis dongengnya sendiri, kendati jalan yang ditempuhnya harus berputar-putar. Badannya, yang tinggi dan masih tegap untuk umurnya yang memasuki kepala lima, hanya berbalutkan kaus putih polos dan celana olahraga. Langkah-langkah beratnya hilir mudik sedari tadi. Kon- sentrasinya lebih terpusat pada dua gelas berisi kopi susu panas yang sedang ia aduk. Seperti balap lari, mereka buru-buru ke pintu depan dan langsung membuka halaman tengah koran yang padat de- ngan barisan nama-nama.

Tercetak jelas. Biar dia tidur sepuas-puasnya. Tidak mung- kin menutup telinga dari suara apa pun di rumah mungil ini. Sambil meringkuk dan memeluk lutut, Keenan menera- wang di atas tempat tidur, bertanya-tanya pada dirinya sendiri: apakah ia salah karena tidak merasakan kebahagiaan yang sama? Apakah ia puas atas kesuksesannya menyenang- kan orang lain? Dan apakah ia cukup berduka atas peng- khianatannya pada diri sendiri? Di depan kanvas, mata Keenan terpaku. Mendapatkan lembar kosong itu sebagai jawaban pertanyaan hatinya.

Dua belokan dari rumah Kugy, ada sebuah kali. Meski berair cokelat, arus kali itu mengalir lancar dan tidak mampat se- perti kebanyakan kali di Kota Jakarta. Kugy menyadari se- suatu ketika baru pindah ke Jakarta, di mana pun ia tinggal, ia selalu menemukan air mengalir dekat rumahnya. Seolah- olah ada yang menginginkan agar kebiasaannya yang satu itu terus berjalan.

Kugy ingat betul bagaimana sejarah kebiasaan itu ber- mula. Waktu itu keluarganya masih tinggal di Ujungpandang. Rumah mereka yang berseberangan dengan laut membuat Kugy kecil banyak menghabiskan hari-harinya di pantai. Simbol- nya air. Kugy kecil lalu berkhayal dirinya adalah anak buah Dewa Neptunus yang diutus untuk tinggal di daratan. Se- perti mata-mata yang rutin melapor ke markas besar, Kugy percaya bahwa ia harus menulis surat untuk Neptunus dan melaporkan apa saja yang terjadi dalam hidupnya.

Ia mengirim suratnya yang pertama saat mulai bisa me- nulis sendiri. Kugy melipat surat itu menjadi perahu lalu dihanyutkan ke laut. Hampir setiap sore Kugy selalu mampir ke pantai, mengirimkan surat-surat berisi cerita atau gambar untuk Neptunus. Kugy protes keras saat keluarga mereka harus pindah kota, yang artinya tak ada pantai lagi dekat rumah. Ia ngam- bek berkepanjangan sampai akhirnya Karel menjelaskan bahwa selama ada aliran air, di mana pun itu, Kugy tetap bisa mengirim surat ke Neptunus.

Semua aliran air akan menuju ke laut, begitu kata Karel sambil menyusutkan li- nangan air mata di pipi Kugy. Barulah Kugy teryakinkan. Kendati bukan lagi dekat laut, rumah mereka yang berpindah-pindah selalu dekat sesuatu yang mampu meyakinkan Kugy bahwa surat-suratnya tetap sampai pada Neptunus.

Termasuk rumah mereka yang dekat kali di Jakarta. Namun, kebiasaan itu mengendur seiring waktu. Namun, Kugy juga tidak bisa menjelaskan bagaimana di lubuk hati- nya ia masih ingin percaya. Ia tidak bisa menjelaskan bagai- mana batinnya dibuat damai dengan menyaksikan perahu- perahu kertas itu hanyut terbawa air.

Pagi itu ia berdiri di tepi kali. Hiruk-pikuk kerumunan anak kampung dari pelosok gang berdengung di telinganya. Namun, Kugy tak terganggu. Matanya tak lepas mengamati aliran air cokelat di bawah kakinya. Perlahan, ia mengeluar- kan sesuatu dari kantong celana. Sebuah perahu kertas. Kugy tidak ingat kapan terakhir ia menghanyutkan perahu di sana. Terlalu lama ia lupa tugasnya sebagai mata-mata dunia air.

Entah kenapa, kepergiannya kali ini menggerakkan ia kembali menulis. Berbarengan dengan batu, kail, daun, dan segala yang dicemplungkan tangan-tangan kecil di sebelahnya, sebuah perahu kertas melaju tak terganggu.

Seorang anak SMP berambut ikal tampak berlari dan ber- gegas memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu bercat putih. Garis-garis mukanya yang tegas dan runcing dikombinasikan dengan kulit putih tapi gosong kemerahan akibat terpaan sinar matahari membuatnya persis seperti turis peselancar di pinggir Pantai Kuta. Anak lak-laki itu melihat sekeliling dengan khawatir.

Napasnya baru melega ketika mobil orangtuanya ternyata masih terparkir di dalam garasi. Langkahnya pun meringan saat ia membuka pintu. Ibunya tersenyum dan menggeleng.

Tapi kamu harus mandi dulu baru bisa ikut antar abangmu ke sta- siun. Pikirannya melayang pada surat-surat dan foto-foto yang sering diselipkan di tasnya oleh cewek-cewek di sekolah, dan ia menebak-nebak mana yang kira-kira ditemukan oleh abangnya.

Diam-diam ia mengamati kedua anak laki-laki- nya yang terpaut jarak umur enam tahun, dan menyadari betapa berbeda keduanya. Jeroen yang ekstrover, atletis, diplomatis, senang bergaul dan berorganisasi, adalah cetak biru ayahnya. Sementara Keenan yang introver, halus, tidak menyukai keramaian, dan lebih senang menyendiri untuk melukis, adalah cetak biru dirinya. Namun, Keenan dan Jeroen saling menjaga dan mengagumi seperti magnet yang lekat erat. Bagi Jeroen, Keenan adalah idolanya nomor satu.

Dan Keenan menyayangi Jeroen lebih dari apa pun. Jeroen seperti orang patah hati ketika Keenan harus pergi ke Amsterdam, dan kini ia harus melepas abangnya lagi untuk bersekolah di Bandung. Aku juga mau ke Bandung. Sayang, ibunya tetap menggeleng. Kamu harus sekolah. Mama sudah telepon langsung ke Eko. Me- mangnya kenapa? Eko ada- lah sepupu Keenan yang sejak SMA bersekolah di Bandung dan kini mereka akan berkuliah di kampus yang sama.

Baru seka- rang lagi mereka akan bertemu setelah terpisah sekian lama. Tapi Eko sudah Mama pesankan untuk bawa tulisan nama kamu. Terdengar suara pintu kamar membuka, dan melangkah- lah keluar ayahnya yang masih berkemeja dan dasi lengkap. Ia pun telah minta izin dari kantornya demi melepas Keenan ke Bandung. Ayahnya menghela napas. Riak pada air mukanya tidak bisa disembunyikan, dan Keenan melihatnya dengan jelas. Ada suasana mendung yang seketika menggantung di ruangan itu. Satu demi satu pun melanjutkan kegiatannya masing-masing tanpa suara.

Bandung, Agustus Tidak ada yang lebih dahsyat daripada gabungan gerimis hujan di luar dan selimut hangat di dalam kamar. Demikian prinsip Kugy. Meringkuk di tempat tidur sepanjang sore sambil bermimpi indah adalah misinya sore itu. Sayangnya, ia lupa mengunci pintu. Cahaya dari luar seketika menerangi kamarnya yang te- maram. Langkah tergesa dan suara bernada tinggi mengacau- kan suasana hening yang membungkus Kugy seperti kepom- pong. Noni terpaksa mengambil tindakan lebih ekstrem.

De- ngan gesit ia menyingkap selimut dan memercik-mercikkan air dari gelas di sebelah tempat tidur. Ayo, bangun. Jam lima keretanya nyampe. Lu mau pakai baju yang mana? Kedua mata Kugy terbuka. Kenapa kok gua harus ikut? Itu kan sepupu si Eko, lu yang pacarnya si Eko, kenapa gua harus dilibatkan segala?

Si Fuad ngadat lagi. Kalo mogok harus ada yang dorong. Untuk dorong kita butuh tenaga. Buat apa lagi? Lu ngambek, ya? Gua cuma berdandan sesuai kasta gua aja. Noni memandang temannya dengan khawatir. Bajunya mendekati compang-camping. Jaket jins ke- gombrongan milik Karel yang digondol Kugy detik-detik terakhir sebelum dia berangkat ke Bandung itu pun tentu tidak membantu. Belum lagi, jam tangan plastik Kura-kura Ninja yang nyaris tak pernah lepas dari pergelangan tangan- nya.

Namun, Kugy berjalan mantap keluar menantang dunia, disambut Eko yang kontan meringkuk-ringkuk tertawa me- lihat pemandangan nyentrik itu. Gua cetak 5R, nanti gua pajang di mading kampus. Standar majalah, dong. Lihat tuh, mukanya hepi gitu Melihat itu, Eko juga mulai khawatir.

Dan gua nggak bisa matiin mesin mobil karena takut mogok. Tapi gua akan merelakan lima menit buat lu untuk ganti baju.

Dia sebetulnya sudah bisa menduga pilihan Kugy. Lautan penumpang kereta api telah melewati tiga sekawan itu sejak sepuluh menit yang lalu, tapi mereka belum juga menemukan objek jemputannya. Noni dan Kugy sudah mu- lai resah. Kok nggak muncul- muncul? Masalahnya, gua nggak tahu mukanya. Eko nyengir masam. Kugy dan Noni langsung berpandang-pandangan.

Noni memutuskan untuk lanjut mengomel, sementara Kugy ber- gegas ke arah muka stasiun. Kugy berharap ia tak salah mendengar. Tak jauh dari sana, seseorang merasa namanya dipanggil. Keenan merasa sumbernya adalah perempuan yang sedang bergerak ke arahnya. Keenan mengamati dengan saksama. Ia yakin belum pernah berkenalan dengan cewek satu itu seumur hidupnya. Tepatnya, ia belum pernah menemukan orang dengan penampilan seaneh itu. Ragu, Keenan mendekati, menjajarkan langkahnya de- ngan kaki kecil yang melangkah besar-besar dan terburu- buru.

Keenan mengamati sekali lagi. Perempuan mungil se- tinggi dagunya, kelihatan seperti anak SMP, gaya berbusana tidak ada juntrungnya, rambut seperti orang baru kesetrum, kedua mata membelalak seperti mengancam. Mendadak Keenan menyesal telah memanggil. Berusaha sangar. Setengah mati Keenan menahan senyum gelinya yang spontan ingin membersit. Ternyata ia berhadapan dengan anak kucing yang berusaha jadi singa. Saya salah mengenali orang. Saya pikir tadinya kamu Namun, dalam hati ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan wajah itu.

Kugy pun hanya mengangguk kecil, lalu berjalan lagi ke arah bilik informasi yang menjadi tujuannya. Sejujurnya, ia tidak keberatan salah dikenali. Laki-laki tadi adalah makhluk tertampan yang pernah ia temui sejak tokoh Therrius dalam komik Candy-Candy.

Namun, harus selalu waspada dengan semua makhluk sok akrab, tegas Kugy dalam hati. Lebih baik konsentrasi men- cari sepupu Eko nan malang, ia pun memotivasi diri. Ber- usaha melupakan apa yang baru ia lihat. Suasana mu- lai lengang, tinggal segelintir orang yang tersisa. Siapa tahu memang dia pakai kereta yang lain. Pinjam HP ya, Non. Pulsa cekak, nih. Namun, tangannya tergantung di udara, karena tiba-tiba ter- dengar suara yang sangat ia kenal bergaung lewat speaker seantero stasiun.

Keduanya menoleh ke belakang, melihat Kugy di bilik informasi sedang menguasai mikrofon. Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah daerah kekuasaannya saat ia pergi sebentar ke ka- mar mandi barusan. Tak hanya Noni dan Eko yang ikut menoleh, seorang pe- muda yang berdiri tak jauh dari mereka pun ikut melongok. Dan kini orang itu yakin bahwa perempuan aneh yang kini tengah diusir petugas itu memang orang sama yang me- manggil namanya tadi.

Sambil tertawa riang, Kugy menghampiri Noni dan Eko. Keduanya tercenung memandangi satu sama lain. Dalam koridor memori masing-masing, ingatan mereka berkejaran menuju ke sembilan tahun lalu. Dalam ingatan Keenan, Eko adalah anak berbadan besar cenderung tambun, periang, bermata cantik seperti anak perempuan dengan bulu mata lebat dan lentik.

Dalam ingatan Eko, Keenan adalah anak bule berambut kecokelatan, kurus dengan tungkai-tungkai panjang, bersorot mata teduh dan selalu tersenyum ramah, tapi jarang bicara. Dan sekarang Keenan menjulang tinggi dan tegap, rambutnya yang diikat tak lagi cokelat melainkan hitam pekat, tampak terjurai sedikit melewati pundak. Ha- nya sorot matanyalah yang tak berubah, yang sejak kecil membuat Keenan tampak lebih dewasa dari umurnya. Jarak sembilan tahun itu seketika melumer ketika kedua- nya berdekapan sambil tertawa bersama, menyadari bahwa sejak tadi mereka ternyata berdiri bersisian.

Ini cewek gua, Noni. Dan ini sahabatnya Noni Betulan seperti anak kucing. Akhirnya kenalan juga. Kugy yang tahu-tahu melem- pem seperti kerupuk disiram air, sementara ekspresi Keenan seperti orang yang menangkap basah sesuatu. Dan dulu dia galak sekali.

Eko melengos melihat keduanya, malas mempermasalah- kan apakah dua orang itu serius atau bercanda. Percaya dirinya sudah kem- bali. Seketika ada keakraban yang juga mencairkan jarak dan waktu di antara mereka berempat, seolah mereka telah berkenalan jauh lebih lama dan bukannya barusan. Tak lama kemudian, hujan kembali mengguyur Kota Ban- dung.

Sebuah Fiat warna kuning terang tampak berusaha keras keluar dari parkiran stasiun. Noni di belakang kemudi, sementara ketiga temannya mendorong di belakang. Tubuh mungil Kugy diapit oleh kedua lelaki besar di kiri-kanan, tapi jelas suara lantangnya yang berfungsi sebagai mandor.

Ia berteriak-teriak sekuat tenaga untuk membakar semangat, sampai akhirnya Fiat itu berhasil kembali melaju dengan tenaga mesin. Bukan manusia. Tumben rajin. Baru dorong mobil. Gede banget. Kok bisa? Di stasiun kan banyak kuli. Bayar kek buat dorong mobil, ngemodal dikit. Yang dorong beneran kan Eko sama sepupunya. Aku cuma nyumbang spirit sama akting ngedorong doang. Kugy menunggu sambil memanyunkan mulut dan me- meras ujung-ujung kausnya yang basah. Ia memang tak akan pernah bisa menang jika beradu mulut dengan Joshua, pacarnya sejak dua tahun terakhir.

Kendati begitu, Joshua pun seringkali mati kutu jika berhadapan dengan Kugy. Bagi Kugy, ungkapan opposite attract adalah yang paling sempurna untuk menggambarkan dinamikanya dengan Ojos. Tak ada satu pun temannya yang percaya bahwa keduanya bisa jadian, begitu juga dengan teman-teman Ojos. Keduanya bertolak belakang hampir dalam segala hal. Ojos yang necis dan jago basket adalah pujaan banyak cewek di sekolah ka- rena kegantengannya, mobilnya yang keren, dan sikapnya yang sesuai primbon Prince Charming.

Di sisi yang berbeda, Kugy pun termasuk sosok populer di sekolah karena aktivitas dan pergaulannya yang luas. Tapi Kugy berasal dari kutub yang berbeda.

Kugy di- kenal dengan julukan Mother Alien. Ia dianggap duta besar dari semua makhluk aneh di sekolah. Semuanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Prince Charming dan Mother Alien bisa bersatu?

Tidak juga Ojos, atau Kugy, tahu jawabannya. Mungkin karena Kugy begitu berbeda dengan semua cewek yang per- nah dipacarinya, Ojos begitu terkesima melihat bagaimana Kugy begitu santai dan berani menjadi dirinya sendiri, se- mentara cewek-cewek lain sibuk mencari muka hanya su- paya Ojos mau mengajak mereka makan atau nonton barang sekali saja. Kugy sendiri tak pernah menganggap Ojos serius mendekatinya karena menyadari betul perbedaan mencolok di antara mereka berdua.

Kugy tak sadar, sikapnya justru membuat Ojos semakin penasaran. Kugy tak akan pernah lupa hari mereka jadian. Pada sore itu, hujan pun turun sama lebatnya. Dan Ojos keburu me- nerima tantangan Kugy untuk bertandang ke rumahnya pa- kai kendaraan umum. Datanglah Ojos di depan pintu, basah kuyup karena gengsi bawa payung, rambut rapinya layu di- timpa air hujan, dan seikat mawar putihnya berantakan tergencet punggung orang di Metro Mini.

Dan kali itu, Kugy melihat Ojos dengan pandangan lain, bukan lagi anak manja yang dipuja-puja satu sekolah, melainkan seseorang yang siap berkorban demi pilihan hatinya. Dan hati Kugy pun akhirnya memilih. Hampir dua tahun mereka pacaran, dan mereka tetap dua manusia yang bertolak belakang. Di mata Kugy, Ojos yang perhatian dan cerewet kadang-kadang berfungsi sebagai penata hidupnya dan kaki-kaki yang membantunya menjejak bumi saat terlalu lama berada di dunia khayal.

Cukup banyak penyesuaian yang mereka pelajari selama dua tahun ini. Salah satu trik yang dipelajari Kugy kalau Ojos sedang kambuh cerewetnya adalah menjauhkan sedikit gagang telepon lalu mencari kesibukan lain, dan kini ia ma- sih asyik memeras ujung-ujung bajunya. Denger nggak? Sori tadi kresek-kresek Udah sering kamu dikerjain mobil satu itu. Naik taksi mahal. Kalau dorong Fuad, udahan- nya malah suka dijajanin minum sama Eko.

Putus asa. Ganti baju gih, nanti masuk angin. Oh, ya, kapan dong kamu beli HP baru? Masa kalau mau telepon harus ke kosan terus. Kan enakan ngobrol di kamar. Selama ini ia ter- paksa menggantungkan nasib pada feeling, dari mulai urusan memencet nomor sampai menerima telepon. Alhasil, Kugy kehabisan banyak pulsa karena salah sambung, dan tak berhasil menghindari telepon-telepon yang tak diingin- kan karena tidak tahu siapa gerangan yang meneleponnya. Aku lagi bikin cerpen, nih.

Kali ini aku mau coba kirim ke majalah. Jadi ada peng- hasilan. Malu minta sama Bokap. Lagian kalo buat HP ka- yaknya nggak akan dikasih.

Kalau dimuat, honornya cukupan beli HP baru. Kamu kan hebat. Ceweknya siapa dulu Jadi gini, tokoh utamanya Pangeran Lobak dari kerajaan Umbi, lalu tokoh antagonisnya penyihir namanya Nyi Kunyit dari negeri Rempah Ya, ya.

Oh, ya? Hebat nggak ceritaku? Besok aku telepon lagi ya, Sayang. Kayak nggak tahu aja. Gabung, yuk. Besok masuk bengkel dulu. Rencananya Eko dan Keenan mampir ke sini pakai angkot, nanti kita jalan kaki aja cari yang dekat-dekat, atau pesan makanan lewat telepon.

Sebuah teve yang tak ditonton menyala dengan suara sayup. Empat orang duduk di lantai, berbincang asyik sambil tertawa-tawa, dengan dus pizza kosong sebagai pusat bagaikan kawanan Indian yang mengelilingi api unggun. Noni berpikir sejenak.

Pak Raden. Lengkap dengan kumis palsu. Lipsync lagu Meggy Z. Lengkap dengan joget. Semua terlongo, tak- jub. Melihat reaksi itu, Keenan merasa perlu memberikan pen- jelasan. Yah, cuma itu yang gua bisa. Tapi mereka suka ba- nget. Satu sekolah ikut joget. Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang diprakarsai oleh Eko. Tak lama, yang lain mengikuti. Giliran Kugy. Anak itu berpikir keras. Betul kata Noni, pikirnya, berhubung hampir semua yang ia lakukan cen- derung aneh, susah sekali memilih satu.

Muka- nya berkerat-kerut tanda berpikir keras. Alis Keenan seketika bertemu. Dulu, waktu rumah gua masih di dekat pantai, ya gua hanyutkan di laut.

Eko sudah mau mati menahan semburan tawa. Ajaib, kan? Eko membelesakkan kepalanya ke dalam bantal. Tertawa terpingkal-pingkal. Untung kamu udah keburu pindah, Sayang. Langsung menyesal, kok. Dulu aku se- ring ke taman bacaannya Kugy. Bisa naksir karena setiap ketemu Kugy selalu pas dia lagi baca buku. Eko langsung pasang tampang serius. Gua udah naksir dia dari kelas 1 SMP Gara-gara pernah ketemu aku di rumah Kugy, kan?

Dendam banget, sih. Namanya juga usaha. Bokis dikit kan biasa. Yang penting hasilnya Dan judul-judul apa yang lu pinjam. No hard feeling, dong. Betulan penasaran. Wajah Eko merah padam.

Kali ini ia terpaksa bungkam. Kugy berdehem lagi. Berhubung segala sesuatu yang berhubungan dengan gua adalah keren adanya, jadi gua nggak aneh. Dan Eko, yang harusnya lebih aneh karena bisa suka sama orang aneh bahkan jadi anggota perpus- takaan orang aneh dengan pilihan buku yang aneh, akhirnya juga jadi nggak aneh.

Kalau begitu, pemenang lingkaran suci kali ini adalah Boleh masuk? Belum pulang? Tapi nggak enak ganggu yang pacaran. Cuma bingung juga bengong di luar. Kamarku rapi, ya? Nggak matching sama yang punya. Matanya lalu berlabuh pada sebuah pigura berisikan foto keluarga Kugy.

Lima bersaudara. Kakak perempuanku, Karin. Ini abangku yang cuma beda setahun sama aku, Kevin. Dan adik bungsuku, Keshia. Masih untung nggak jadi Karbol. Tangan- nya serta-merta menunjuk ke arah rak buku tempat koleksi komik dan buku dongengnya berbaris rapi, demi mengalih- kan pembicaraan.

Yang di ru- mah jauh lebih banyak. Hobi sejak kecil. Dan bukannya tulisan baru bermakna kalau ada yang baca? Minimal dongengku bisa dibacakan di kelas. Di umurku, harusnya aku nulis kisah cinta, kisah remaja, kisah dewasa Begitu sudah besar begini, pe- nulis dongeng terdengar konyol dan nggak realistis.

Setidak- nya, aku harus jadi penulis serius dulu. Baru nanti setelah mapan, lalu orang-orang mulai percaya, aku bisa nulis do- ngeng sesuka-sukaku. Kebanyakan dari me- reka punya pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek, copy writer di biro iklan kek. Nggak bisa ma- kan.

Nggak ada masalah, kan? Arti- nya kamu bisa makan. Di kepalanya melintas gulungan-gu- lungan kanvas bertorehkan lukisan yang ia tinggalkan di Amsterdam. Keduanya membisu, cukup lama hingga suasana di kamar itu terasa menjengahkan. Siapa tahu Eko bentar lagi mau pulang. Keenan menerima bundel yang disodorkan padanya. Ben- tuknya kayak peti harta karun yang ada di komik-komik.

Karel bilang, peti itu diambil dari perahu karam, dan isinya gulungan-gulungan naskah sejarah yang jadi hancur karena terendam air laut. Aku senang sekali dapat peti itu, dan aku bertekad untuk mengisinya ulang dengan naskah-naskah do- ngeng buatanku, supaya peti itu kembali berisikan sesuatu. Aku menulis dengan super semangat. Dan jadilah bundel itu.

Silakan kamu baca-baca. Kamu bisa kem- balikan kapan pun kamu mau. Diusapnya sampul depan bundel itu dengan hati-hati. Dan maaf kalau tadi saya Peti itu bukan peti harta karun. Bukan juga dari kapal karam. Keheningan kem- bali membungkus ruangan itu. Namun, ada satu hal yang mengusik Keenan, dan ia me- mutuskan untuk bertanya. Kugy Alisa Nugroho. Ia tenggelam dalam dunia khayal Kugy yang membawanya jauh ke Negeri Anti- gravitia yang menggantung di selapis langit sebelum bulan, ke bawah tanah tempatnya Joni Gorong si undur-undur penggali, ke dunia sayur-mayur tempat Wortelina menjadi penari balet yang ternama.

Keenan menyadari betapa berharganya bundel yang ada di tangannya itu. Setiap helai bernapaskan semangat dan rasa percaya yang begitu kuat. Sebagian besar naskah itu ditulis Kugy menggunakan komputer, tapi ada banyak juga yang ia tulis dengan tangan. Ada rasa haru yang spontan membersit ketika Keenan melihat usaha Kugy itu. Anak ini adalah penulis yang luar biasa, tapi dia sama sekali tidak bisa menggambar, komentar- nya dalam hati. Keenan lalu meraih buku sketsanya yang masih baru, meraih peralatannya yang masih tersimpan di dalam tas, dan ia mulai menggambar dengan tekun.

Sepan- jang malam, Keenan membuat puluhan sketsa sekaligus. Saat ayam berkokok dari kejauhan, Keenan baru berhenti. Tersadar bahwa baru kali itulah ia menggambar begitu ba- nyak untuk seseorang yang baru dikenalnya tadi sore.

Dari kejauhan Kugy seketika bisa mengenali sosok itu. Tu- buh yang menjulang tinggi dengan rambut melewati bahu yang diikat satu. Dia satu-satunya yang berambut gondrong di tengah anak-anak angkatan baru yang dipotong cepak gara-gara ikut opspek.

Dia memilih tidak ikut opspek dari- pada kehilangan kuncirnya itu—satu-satunya peninggalan otentik dari Amsterdam yang terbawa sampai ke Bandung, katanya begitu. Rambut kamu masih basah, dan kamu kelihatan agak cemerlang dari biasa. Kalau bukan kita berempat punya ritual nonton mid- night setiap Sabtu, kayaknya aku nggak akan ketemu kamu di mana-mana lagi.

Sibuk, ya? Nggak terlalu suka nongkrong-nongkrong. Hampir setiap hari ia melewati Fakultas Ekonomi, tempat Keenan berkuliah.

Kugy bahkan sempat curiga jangan-jangan Keenan sebetulnya kuliah lewat jalur Universitas Terbuka. Harus- nya: tergantung siapa yang bayar. Jangan ngaku anak kampus deh kalau belum pernah ke sana Murah banget. Pantesan nraktir Warung nasi dengan dinding bambu itu tampak padat. Orang-orang berderet memilih makanan yang disajikan pras- manan. Mereka lalu duduk di pojok dekat jendela, bersebelahan dengan pisang susu yang digantung bertumpuk.

Keenan menatap adegan itu dengan decak kagum. Honornya cukup buat beli HP baru dan trak- tir kamu makan siang sekarang. Mendadak ia merasa gugup. Se- sungguhnya, salah satu alasan ia sering lewat-lewat fakultas Keenan adalah untuk memberikan majalah yang memuat cerpennya, yang sudah ia siapkan di dalam ranselnya dan ia bawa setiap hari.

Kugy lalu membongkar tasnya dan me- nyerahkan majalah yang sudah agak ringsek itu. Tapi belum ada tang- gapan. Menurut saya, kamu penulis yang sangat bagus. Mati langkah. Ia ter- sadar, satu hal langka telah terjadi: dirinya salah tingkah. Benar-benar tidak tahu harus merespons apa. Akhirnya Kugy mencomot satu lagi pisang susu. Mengunyahnya lahap. Lapar berat, ya?

Justru itu. Ia merasa wajahnya se- makin panas, dan omongannya semakin ngaco. Saya mau kasih lihat lukisan-lukisan saya. Ada senyum spontan yang tak bisa ia tahan. Mendadak ia mensyukuri celetukan asalnya tadi.

Men- dadak ia ingin cepat-cepat menuntaskan makan siang ini. Tempat kos Keenan terletak agak jauh dari kampus mereka. Sebuah rumah peninggalan zaman Belanda yang dikelilingi pepohonan rindang.

Berbeda dengan tempat kos Kugy dan Noni yang padat, tempat kos Keenan hanya diisi oleh be- berapa orang saja. Kamar-kamarnya berukuran luas dengan langit-langit yang tinggi. Napas Kugy seketika tertahan ketika pintu besar itu ter- buka dan Keenan menyalakan sakelar lampu. Rel-rel kawat bersaling silang di bawah plafon dengan lampu-lampu halo- gen kecil yang bergantungan menerangi beberapa spot tem- pat lukisan-lukisan Keenan yang terpaku di dinding atau didirikan begitu saja di atas lantai.

Kamar dengan ubin abu- abu itu tampak lengang karena tidak banyak perabot. Cuma ini yang nggak ada. Mana mung- kin ketebak. Apa perasaan yang muncul ketika kamu lihat lukisan ini? Itulah judulnya. Lalu ia memejam- kan mata. Perlahan, ia membalik lu- kisan yang berdiri di lantai itu, dan menunjuk judul yang tertera di baliknya. Kugy melongo. Ini pasti karena kita dulunya sama-sama utusan Neptunus. Cuma, sebelum dikirim ke Bumi, kita dibikin amnesia. Keenan manggut-manggut.

Boleh juga teori- nya. Dia tidak melihat batas apa- apa, tidak melihat perintang apa-apa, tidak terikat oleh Bumi. Tidak yakin apakah pertanyaan itu pantas diajukan, tapi mulutnya seperti tak bisa ditahan. Keenan menatap Kugy balik, tebersit senyum getir di wajahnya. Harus membuktikan bah- wa saya bisa mandiri lewat melukis, sementara kesempatan- nya tidak pernah dikasih.

Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi. Barulah ia mengerti, sesungguhnya waktu itu Keenan mem- bicarakan dirinya sendiri. Dan kesunyian yang sama kembali hadir di antara mereka.

Aku tuh bu- kan nebak, tauk Di hadapannya terbentang lembar pertama buku sketsa yang dibuka Keenan. Perlahan, Kugy meraih buku itu. Membuka lembar demi lembar. Peri Seledri Nyi Kunyit Joni Gorong Setetes air tiba-tiba jatuh di lembar sketsanya.

Keenan kontan terdiam dan mendongak, mendapatkan Kugy yang sudah berlinangan air mata. Gambarnya kena, ya? Kugy terisak, antara tertawa dan menangis. Aku cengeng, ya? Makanya saya tergerak untuk bikin sketsa. Ambil aja. Pelukan spontan itu ha- nya berlangsung dua detik karena Kugy langsung beringsut mundur dengan muka merah padam. Keduanya diam bergeming, antara rikuh dan tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya Kugy memecah ke- kakuan itu dengan merogoh saku celananya.

Sebatang pisang susu yang dibawa dari Pemadam Kelaparan. Kugy dan Keenan di bangku belakang. Eko mengemudi, di sampingnya ada Noni yang tengah bertelepon dengan seseorang.

Noni mematikan ponselnya dengan lega. Tapi lumayan daripada lu manyun. Sepuluh menit kemudian, mobil itu memasuki parkiran Bandung Indah Plaza. Dan keempatnya pun langsung ber- gegas ke lantai paling atas. Seorang pria kurus berkacamata menyambut mereka, Mas Itok, penjaga toko kaset langganan Eko yang suka me- nyambi menjadi pengantre tiket bioskop buat mereka.

Mas Itok menerima honornya lalu berlalu dari sana, tanpa tahu apa yang membuat keempat anak itu tertawa. Tapi Kugy sedikit merasa terusik dengan celetukan itu.

Diam-diam, ia melirik Keenan yang berjalan di sampingnya. Mencari sesuatu, mencari se- macam petunjuk entah apa. Ia sendiri tak mengerti. Tahu- tahu Keenan meliriknya balik. Cepat-cepat Kugy membuang muka ke sembarang arah, menemukan mesin popcorn se- bagai objek perhatian baru yang lebih aman.

Kugy merasa tak punya pilihan selain mengangguk. Kugy tak yakin apakah Keenan menyadari perubahan yang terjadi. Dalam hati, sungguh Kugy berharap langkahnya yang berubah tersendat dan otot tangannya yang berubah tegang tidak terdeteksi. Jakarta, Oktober Sudah cukup lama perempuan itu berdiri dekat pesawat tele- pon di ruang tamunya sendiri. Kalau bukan demi sopan santun, sebetulnya aku tidak harus melakukan ini, pikirnya.

Puluhan tahun telah berlalu, tapi tetap ia merasa hal ini tidak mudah. Sambil menelan ludah, akhirnya ia membulatkan tekad dan me- mencet tombol-tombol itu: Bisa bicara dengan Pak Wayan? Ini dari Ibu Lena, Jakarta. Sejenak sunyi. Apa kabar? Tumben sekali kamu telepon. Di liburan semesternya nanti, dia kepingin sekali pergi ke tempatmu di Ubud Ini rumahnya juga.

Kapan pun dia ingin kemari, sudah pasti kuterima. Seluruh keluargaku di 9 Poyan: Panggilan singkat untuk paman yang bernama Wayan. Lena menghela napas. Ayahnya memberi izin Keenan kemari, kan? Adri sudah kasih izin Tidak ada masalah lagi kalau begitu. Lena pun tahu sudah saatnya pembicaraan itu disudahi.

Bandung, Oktober Keenan menaiki anak tangga eskalator sekaligus dua-dua, menyusuli orang-orang yang berdiri diam di kanan-kiri, ber- usaha tiba di lantai paling atas secepat-cepatnya. Saat ia sampai, sudah ada Eko dan Noni berdiri sambil mengacung- kan tiga lembar tiket bioskop. Right on time. Tiba-tiba ia tersadar sesuatu. Ada yang kurang di situ. Kening Keenan berkerut. Keenan terdiam sejenak. Di Jakarta? Ke semua teman cowoknya? Nada ceria yang ia hafal.

Derap lang- kah setengah berlari yang khas. Namun, entah kenapa, kali ini Keenan agak enggan menoleh ke belakang. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum ia akhirnya membalikkan pung- gung. Noni sampai kemimpi-mimpi gitu. Sori ya, aku nggak gabung. Udah makan malam belum? Pemadam Kelaparan yuk Banyak tugas. Nggak pa-pa, ya? Air mukanya seketika berubah, meski ia ber- usaha tampil tenang. Tapi saya merasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih otentik, lebih orisinal, dan lebih mencerminkan kamu yang sebenarnya.

Dalam cerpen itu, saya tidak menemukan diri kamu. Seluruh persendian tubuh Kugy serasa dikunci. Kata-kata Keenan seolah menyulapnya menjadi patung.

Ia cuma bisa merasakan air ludahnya tertelan seperti bola bakso yang tak sempat terkunyah. Kalau memang kamu kepingin saya jujur, ya itulah opini saya. Nggak kurang, nggak lebih. Tak lama kemudian, Keenan pamit pulang, dan Kugy te- tap berdiri di tempatnya. Menyakitkan sekali- gus membekukan.

Membuatnya bungkam tanpa bisa me- lawan. Malam itu Kugy terjaga lama di tempat tidur. Telentang menghadap langit-langit kamar kosnya dengan pikiran yang terus berputar dan hati yang teraduk-aduk.

Ia tak mengerti mengapa komentar Keenan meninggalkan dampak yang begitu dalam. Ia juga tak mengerti mengapa ia begitu me- nunggu-nunggu pendapat Keenan, seolah pendapat manusia satu itulah yang terpenting.

Ironisnya, semua orang terdekat- nya, termasuk Ojos, menyukai dan memuji-muji cerpennya. Hanya Keenan yang begitu tegas dan tanpa tedeng aling- aling menyatakan tidak suka. Seharian Kugy bertanya dan bertanya: apa yang salah? Bagaimana mungkin Keenan menyebutnya penulis yang cuma pintar merangkai kata tapi tak bernyawa? Padahal ia setengah mati mengerjakan cerita pendek itu. Setiap kata dipilihnya dengan cermat dan teliti. Ia hafal mati formula dan teori dari pedoman membuat cerita yang baik dan be- nar.

Kugy terduduk tegak. Membuka majalah yang memuat cerpennya, dan mulai membaca dari awal hingga akhir. Kugy mulai menyadari sesuatu. Dalam dongengnya, ia seolah berlari bebas, sesuka hati. Dalam cerpen itu, ia seperti berjalan meniti tali, ber- hati-hati dan penuh kendali. Ingatannya pun kembali mundur ke siang tadi, dan kem- bali ia rasakan perih sayatan kata-kata Keenan.

Namun, kali ini Kugy ikut merasakan kebenarannya. Tempat kos yang lengang itu semakin terasa sepi karena hampir semua penghuninya sudah kembali ke kota masing- masing untuk menikmati liburan semester.

Some of the techniques listed in Perahu Kertas may require a sound knowledge of Hypnosis, users are advised to either leave those sections or must have a basic understanding of the subject before practicing them. DMCA and Copyright : The book is not hosted on our servers, to remove the file please contact the source url.

If you see a Google Drive link instead of source url, means that the file witch you will get after approval is just a summary of original book or the file has been already removed. Loved each and every part of this book. I will definitely recommend this book to romance, novels lovers.

Your Rating:. Your Comment:. Great book, Perahu Kertas pdf is enough to raise the goose bumps alone. Add a review Your Rating: Your Comment:.



0コメント

  • 1000 / 1000